Menyelesaikan
Konflik Pertambangan
BERLARUT-larutnya konflik pertambangan di
sejumlah daerah di negeri ini, tidak terlepas dari minusnya kemauan
politik pemerintah (pusat maupun daerah) dalam merespon tuntutan dan
kepentingan publik. Justru yang terjadi adalah pengabaian, yang tentu
saja semakin memperbesar konflik pertambangan. Tahun 2010-2011 saja,
terdapat setidaknya 13 konflik pertambangan.
Secara umum, konflik-konflik pertambangan itu
disebabkan pencemaran lingkungan, penolakan warga, konflik lahan dengan
warga, ketenagakerjaan dan tumpang tindih lahan.
Selain itu, kehadiran pertambangan justru menimbulkan persoalan baru.
Misalnya semakin retaknya hubungan kekeluargaan, serta menyuburkan konflik
sosial dan horizontal. Juga, kehadiran pertambangan tidak mampu
menghadirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pihak yang diuntungkan
dari aktivitas pertambangan ini hanyalah pengusaha dan pejabat.
Realitas ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam dunia
pertambangan kita.
Maraknya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang didasarkan atas
kepentingan sesaat penguasa daerah tanpa melibatkan masyarakat luas,
merupakan pintu gerbang konflik pertambangan. Pemberian izin
seringkali dilakukan menjelang dan atau setelah Pilkada. Hal ini
mengindikasikan adanya pencarian dana kampanye maupun balas jasa atas
dukungan dalam Pilkada. Era otonomi daerah justru menjadi kesempatan
emas bagi beberapa elite daerah untuk memperkaya diri dengan menjual
surat izin tersebut.
Pemberian izin yang instan seperti itu sudah pasti menimbulkan masalah
baru. Apalagi izin tersebut tidak didasarkan pada tanggungjawab
perusahaan dalam memperhatikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat
setempat. Dengan mengandalkan surat resmi tersebut, pihak pengusaha
tambang pun melakukan eksploitasi besar-besaran demi keuntungan yang
sebesar-besarnya tanpa peduli pada aspek lingkungan dan sosial.
Sehingga masuk akal ketika sejumlah pertambangan di tanah air merusak
lingkungan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Sialnya, ketika masyarakat melakukan unjuk rasa maupun perlawanan,
biasanya dihadapi dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan aparat
keamanan sebagai tembok penjaga aktivitas pertambangan. Bahkan
parahnya, pihak perusahaan pertambangan menggaji aparat keamanan (yang
sebenarnya sudah digaji dari uang rakyat) untuk menjaga usaha
pengerukan kekayaan alam tersebut. Masyarakat yang melakukan tuntutan
pencabutan izin pun akhirnya diredam aparat keamanan secara represif.
Persoalan konflik pertambangan ini harus segera diselesaikan. Jika
tidak, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Oleh sebab itu, segala perusahaan tambang yang bermasalah sudah saatnya
dievaluasi. Jika memang tambang tersebut membawa penderitaan bagi
rakyat dan merusak lingkungan, maka perlu tindakan tegas (bila perlu
pencabutan izin). Di sinilah sangat dibutuhkan kemauan dan keseriusan
pemerintah dalam merespon suara masyarakat demi kepentingan bersama.
Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Tinggal langkah-langkah
yang seperti apa yang ditempuh untuk menyelesaikannya. Keberhasilan
Walikota Solo Joko Widodo, dalam merelokasi pedagang kaki lima patut
menjadi contoh. Di mana dia melakukan pendekatan dialog sampai 54 kali
hanya demi terciptanya kesepakatan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Pendekatan seperti ini patut diterapkan dalam penyelesaian konflik
antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang, demi kepentingan
bersama.
Selanjutnya ke depan, sebelum negara ini benar-benar menjadi milik
pemodal asing, maka negara (pemerintah) harus kembali ke jalan yang
benar. Kembali pada jalur konstitusi, pasal 33 UUD 1945. Memang sejak
orde baru hingga sekarang (orde terbaru), negara telah mengingkarinya.
Mulai dari lahirnya UU No 1 Tahun 1967 hingga UU No 25 Tahun 2007,
menjadi pintu masuk dominasi asing. Sehingga sampai hari ini, rakyat
tetap menderita. Kelaparan terjadi di atas tanah emas.
Anehnya, di saat kemiskinan dan pengangguran menghimpit jutaan rakyat,
pemerintah (pusat dan daerah) dengan suara percaya diri selalu
mengundang kehadiran investor-investor asing. Seolah-olah investor itu
menjadi malaikat pembebas bagi rakyat miskin. Padahal dalam
realitasnya, justru menambah persoalan baru.
Perlu ditekankan, kita memang bukan anti asing. Bukan menolak investor
asing. Hanya saja dalam pengelolaan dan pembagian hasil, terjadi
ketidakadilan. Pemerintah seolah-olah hanya sebagai penjaga keamanan
bagi pemodal asing, dengan menerima recehan dari mereka. Sementara
rakyat menjadi buruh murah di negeri sendiri, bahkan diasingkan dan
digusur dari tanah sendiri. Rakyat (terpaksa) menerima “limbah” buruk
dari usaha pengerukan kekayaan alam tersebut.
PT Freeport Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan tambang
yang bermasalah, melanggar pasal 33. Dari segi kepemilikan saham, lebih
dari 90% saham perusahaan yang sudah mengeruk kekayaan bumi Papua sejak
1967 ini dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold.
Sisanya sekitar 9% dikuasai pemerintah Indonesia. Bila dilihat dari
kondisi ekonomi masyarakat, maka sungguh memprihatinkan di mana rakyat
di sekitar pertambangan tersebut menderita. Belum lagi kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan tambang ini.
Sekali lagi, kembali ke pasal 33 UUD 1945 bukan berarti menolak
hadirnya modal asing. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar
terjadi keadilan dalam penguasaan cabang produksi yang penting bagi
negara khususnya dalam pertambangan (minimal 51% untuk Indonesia), agar
kekayaan alam negara tersebut demi kemakmuran rakyat, dan
pengelolaannya memperhatikan lingkungan serta bervisi jangka panjang.
Tanpa hal itu, konflik akan tetap membara dan rakyat menderita. (Jhon
Rivel Purba)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar