Minggu, 06 Januari 2013

Menyelesaikan Konflik Pertambangan

Menyelesaikan Konflik Pertambangan



Menyelesaikan Konflik Pertambangan
BERLARUT-larutnya konflik pertambangan di sejumlah daerah di negeri ini, tidak terlepas dari minusnya kemauan politik pemerintah (pusat maupun daerah) dalam merespon tuntutan dan kepentingan publik. Justru yang terjadi adalah pengabaian, yang tentu saja semakin memperbesar konflik pertambangan. Tahun 2010-2011 saja, terdapat setidaknya 13 konflik pertambangan.
Secara umum, konflik-konflik pertambangan itu disebabkan pencemaran lingkungan, penolakan warga, konflik lahan dengan warga, ketenagakerjaan dan tumpang tindih lahan.

Selain itu, kehadiran pertambangan justru menimbulkan persoalan baru. Misalnya semakin retaknya hubungan kekeluargaan, serta menyuburkan konflik sosial dan horizontal. Juga, kehadiran pertambangan tidak mampu menghadirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pihak yang diuntungkan dari aktivitas pertambangan ini hanyalah pengusaha dan pejabat. Realitas ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam dunia pertambangan kita.

Maraknya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang didasarkan atas kepentingan sesaat penguasa daerah tanpa melibatkan masyarakat luas, merupakan pintu gerbang konflik pertambangan. Pemberian izin  seringkali dilakukan menjelang dan atau setelah Pilkada. Hal ini mengindikasikan adanya pencarian dana kampanye maupun balas jasa atas dukungan dalam Pilkada. Era otonomi daerah justru menjadi kesempatan emas bagi beberapa elite daerah untuk memperkaya diri dengan menjual surat izin tersebut.

Pemberian izin yang instan seperti itu sudah pasti menimbulkan masalah baru. Apalagi izin tersebut tidak didasarkan pada tanggungjawab perusahaan dalam memperhatikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat setempat. Dengan mengandalkan surat resmi tersebut, pihak pengusaha tambang pun melakukan eksploitasi besar-besaran demi keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli pada aspek lingkungan dan sosial. Sehingga masuk akal ketika sejumlah pertambangan di tanah air merusak lingkungan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.    

Sialnya, ketika masyarakat melakukan unjuk rasa maupun perlawanan, biasanya dihadapi dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan aparat keamanan sebagai tembok penjaga aktivitas pertambangan. Bahkan parahnya, pihak perusahaan pertambangan menggaji aparat keamanan (yang sebenarnya sudah digaji dari uang rakyat) untuk menjaga usaha pengerukan kekayaan alam tersebut. Masyarakat yang melakukan tuntutan pencabutan izin pun akhirnya diredam aparat keamanan secara represif.

Persoalan konflik pertambangan ini harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Oleh sebab itu, segala perusahaan tambang yang bermasalah sudah saatnya dievaluasi. Jika memang tambang tersebut membawa penderitaan bagi rakyat dan merusak lingkungan, maka perlu tindakan tegas (bila perlu pencabutan izin). Di sinilah sangat dibutuhkan kemauan dan keseriusan pemerintah dalam merespon suara masyarakat demi kepentingan bersama.

Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Tinggal langkah-langkah yang seperti apa yang ditempuh untuk menyelesaikannya. Keberhasilan Walikota Solo Joko Widodo, dalam merelokasi pedagang kaki lima patut menjadi contoh. Di mana dia melakukan pendekatan dialog sampai 54 kali hanya demi terciptanya kesepakatan yang bisa diterima oleh semua pihak. Pendekatan seperti ini patut diterapkan dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang, demi kepentingan bersama.

Selanjutnya ke depan, sebelum negara ini benar-benar menjadi milik pemodal asing, maka negara (pemerintah) harus kembali ke jalan yang benar. Kembali pada jalur konstitusi, pasal 33 UUD 1945. Memang sejak orde baru hingga sekarang (orde terbaru), negara telah mengingkarinya. Mulai dari lahirnya UU No 1 Tahun 1967 hingga UU No 25 Tahun 2007, menjadi pintu masuk dominasi asing. Sehingga sampai hari ini, rakyat tetap menderita. Kelaparan terjadi di atas tanah emas.

Anehnya, di saat kemiskinan dan pengangguran menghimpit jutaan rakyat, pemerintah (pusat dan daerah) dengan suara percaya diri selalu mengundang kehadiran investor-investor asing. Seolah-olah investor itu menjadi malaikat pembebas bagi rakyat miskin. Padahal dalam realitasnya, justru menambah persoalan baru.

Perlu ditekankan, kita memang bukan anti asing. Bukan menolak investor asing. Hanya saja dalam pengelolaan dan pembagian hasil, terjadi ketidakadilan. Pemerintah seolah-olah hanya sebagai penjaga keamanan bagi pemodal asing, dengan menerima recehan dari mereka. Sementara rakyat menjadi buruh murah di negeri sendiri, bahkan diasingkan dan digusur dari tanah sendiri. Rakyat (terpaksa) menerima “limbah” buruk dari usaha pengerukan kekayaan alam tersebut.

PT Freeport Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan tambang yang bermasalah, melanggar pasal 33. Dari segi kepemilikan saham, lebih dari 90% saham perusahaan yang sudah mengeruk kekayaan bumi Papua sejak 1967 ini dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold.

Sisanya sekitar 9% dikuasai pemerintah Indonesia. Bila dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat, maka sungguh memprihatinkan di mana rakyat di sekitar pertambangan tersebut menderita. Belum lagi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan tambang ini.

Sekali lagi, kembali ke pasal 33 UUD 1945 bukan berarti menolak hadirnya modal asing. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar terjadi keadilan dalam penguasaan cabang produksi yang penting bagi negara khususnya dalam pertambangan (minimal 51% untuk Indonesia), agar kekayaan alam negara tersebut demi kemakmuran rakyat, dan pengelolaannya memperhatikan lingkungan serta bervisi jangka panjang. Tanpa hal itu, konflik akan tetap membara dan rakyat menderita. (Jhon Rivel Purba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar